Nasib Kampung Terisolir di Jeneponto, Puluhan Tahun Parang Benrong Tak Tersentuh Tangan Pemerintah

JENEPONTO, INIKATA.co.id – Ibarat “Ayam Mati di Lumbung Padi”. Peribahasa ini menggambarkan keadaan yang dirasakan warga Dusun Parang Benrong, Desa Gunung Silanu, Kecamatan Bengkala, Kabupaten Jeneponto. Sebuah perkampungan yang mengalami kesengsaraan di tengah melimpahnya sumber daya alam di wilayah bagian barat Sulsel itu.

Kampung yang terletak kurang lebih 15 kilometer (km) dari jalan poros Jeneponto itu menempati kawasan pegunungan terisolir. Akses ke perkampungan pun harus melewati jalanan terjal. Terlebih lagi, jarak antar rumah warga cukup jauh. Dari 10 hingga 50 meter.

Penduduk yang menempati dusun tersebut sebanyak 100 lebih kepala keluarga (KK) dengan jumlah warga kurang lebih 228 jiwa. Sebagian besar, kehidupan mereka bergantung pada tanaman jagung. Tanaman lainnya seperti sukun pun juga cukup banyak ditanami di sekitar halaman rumah warga.

Hasil panen jagung itu didistribusi ke pusat kabupaten dan bahkan di pusat ibu kota Makassar. Mereka harus bersusah payah menurunkan hasil panen melewati jalan terjal menggunakan sepeda motor rakitan. Sangat jarang memakai mobil, disamping akses jalan yang sulit, mereka harus merogoh kantong yang cukup banyak.

Aktivitas warga di kampung tua itu terbilang sungguh ironi, hidup dengan kebutuhan seadanya. Langkah mereka penuh dengan kesulitan. Hingga puluhan tahun akses listrik tidak diperbolehkan masuk. Kehidupan yang jauh dari cahaya penerangan, terkesan tak dilirik pemangku kebijakan.

Meski kepala daerah sudah beberapa kali berganti, jalan bagus dan listrik tak pernah dirasakan warga. Imbasnya, jaminan pendidikan dan kesehatan tak bisa diharapkan. Puluhan tahun lamanya menempati kawasan tersebut, baru satu orang yang raih pendidikan sarjana.

Kepala Dusun Parang Benrong Desa Gunung Silanu Abd Madjid menyampaikan, sejak kampungnya dimekarkan dari Dusun Bira-bira sekitar 2007 lalu, pembangunan seperti fasilitas jalan hingga pemasangan akses listrik terkesan tak diperhatikan pemerintah.

“Jadi saya mengalami nasib di sini bersama warga terutama jalan dan listrik. Orang tua di sini bilang seluruh wilayah di gunung silanu, pengakuan orang tua di sini yang pertama didirikan Parang Benrong,” ucap Madjid saat diwawancara di Dusun Parang Benrong, Rabu (31/1/2024) lalu.

“Saya tanya orang tua dulu kenapa ini kampung belum dikenal pemerintah di atas (Pemkab Jeneponto dan Pemprov Sulsel). Katanya, selama ini Parang Benrong pemerintah dia menganggap hutan lindung. Padahal kampung ini duluan dibandingkan kampung luar, kenapa sampai ini belum bisa tersentuh pemerintah,” imbuhnya.

Keluhan ini pun sempat dia tanyakan kepada Kepala Desa Gunung Silanu. Dijelaskan, pihaknya sudah beberapa kali memastikan pembangunan di dusunnya seperti akses listrik. Tapi pengakuan dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Sulsel belum mengantongi izin pembebasan kawasan hutan lindung.

“Jadi saya tanya kepala desa kenapa ini Parang Benrong belum ter-listrikan, terus pak desa menjawab kita sudah usahakan tapi hambatan dari kehutanan katanya kita kalau angkat tiang dan mau di-listrik ini Parang Benrong, pihak kehutanan bilang melanggar karena dianggap hutang lindung, padahal kampung ini sudah puluhan tahun ditinggali,” terangnya.

Beberapa tahun lalu, pihak PLN dikabarkan ingin memasang listrik di Dusun Parang Benrong melalui program listrik masuk desa. Akan tetapi, keinginan tersebut tidak dapat diwujudkan lantaran pemerintah tidak mengizinkan.

“Kalau pihak PLN dia sudah turun ke dusun dan dia mau pasang, cuman PLN ini saya dengar info dia terhambat dari dinas kehutanan dan katanya tidak boleh di-listrikan kalau belum dikasih izin,” tukasnya.

Di tahun 2007 silam, jumlah kependudukan di Dusun Parang Benrong masih 45 KK. Ia mengatakan di tahun itu pihaknya sudah mulai dikenakan pajak bumi dan bangunan (PBB). Ironisnya, kewajiban pajak yang sudah dipenuhi, tapi pembangunan menggunakan anggaran pemerintah tidak diperbolehkan.

“Saya sebagai pemerintah dusun juga kena komplain karena kenapa kita belum tersentuh bantuan pemerintah. Seingat saya itu mulai 2007 sudah bayar PBB, tapi pihak kehutanan menganggap kita di sini tidak bayar pajak. Jadi kita juga disini heran dan kita tidak diakui karena semuanya itu dianggap hutan lindung,” keluhnya.

Berbagai usaha, kata dia, terus ditempuh. Semata-mata untuk memberikan jaminan kepada warganya agar mereka mendapat nasib hidup yang sama dengan masyarakat lainnya dari hasil pajak.

Madjid dengan wajah tertunduk mengungkapkan, dirinya pernah berkomunikasi dengan penyuluh kehutanan sebagai perwakilan pemerintah. Mereka menyampaikan, awalnya kampung tua ini secara administrasi masih satu dusun dengan Bira-bira, sehingga pembangunan belum merata sepenuhnya.

“Saya juga datang ke kehutanan apa sebabnya ini Parang Benrong dianggap hutan lindung, terus kita sudah membayar pajak. Pihak kehutanan menjawab memang dulu satu Dusun Bira-bira sama Parang Benrong jadi PBB-nya satu alamat,” ujarnya.

Dia keluhkan kondisi dusunnya, agar mendapat perlakuan sama seperti adanya pembangunan jalan dan pemasangan listrik. Itu dapat diwujudkan jika izin pembebasan kawasan hutan lindung sudah dikeluarkan.

“Jadi waktu itu saya minta solusinya, supaya Parang Benrong juga dikenal warganya membayar pajak. Jadi alhamdulillah sudah diusahakan tapi sementara ini belum keluar (izin pembebasan hutan lindung),” ucap dia.

“Kita dengar info dari pihak bersangkutan bahwa Insya Allah 2024 ini tinggal menunggu hasilnya. Kalau saya tidak salah ingat di pemprov kemarin diurus. Saya mohon pihak kehutanan dapat membantu warga kami. Agar dikeluarkan itu SK pembebasan,” tambahnya.

Kabarnya, warga di Parang Benrong menempati kawasan tersebut sudah sejak sebelum 1945. Kata dia, warga belum pernah merasakan kemerdekaan seperti dicita-citakan bangsa Indonesia.

Belas kasihan kini terus didengungkan warga Dusun Parang Benrong. Menginginkan kehidupan yang layak tapi terkesan tidak dianggap sebagai bagian dari warga di daerah yang terkenal paling pesat kemajuannya di Indonesia timur.

“Kasihan warga Parang Benrong sudah sekian tahun Indonesia merdeka ini tinggal satu wilayah belum merasakan bagaimana itu rasanya kalau merdeka orang,” ungkapnya.

Meski hari-hari hidupnya dengan perasaan keluh kesah, mereka tetap bertahan dengan kondisi seadanya. Kata Madjid, ketika memasuki waktu malam, aktivitas mereka hanya bergantung pada alat tradisional.

“Kita ini kalau masuk magrib tidak kenal lagi kita punya muka, kita makan tidak ada lampu. Jadi saya ini umur 40 tahun belum merasakan listrik. Jadi kita minta agar tersentuh juga dari bantuan pemerintah,” katanya.

“Makan pun dalam kondisi gelap, tidur pun gelap. Kalau misalnya ada orang sakit kalau ada perasaan ragu tinggal pegang hidungnya untuk pastikan dia masih hidup atau tidak karena kita tidak lihat, pakai senter pun kalau habis kita mengecas itu agak susah,” ucapnya.

Tak beda jauh dengan perempuan yang tengah mengandung dan melahirkan. Sangat sulit dirasakan saat membutuhkan bantuan medis. Akses jalan susah dilalui untuk membawa orang yang tengah merasakan kesakitan. Bahkan, kejadian melahirkan di tengah jalan bukan lagi hal baru bagi warga Parang Benrong.

Warga tidak bisa terlalu berharap banyak ke tenaga kesehatan atau bidan untuk masuk ke Dusun Parang Benrong. Alasan yang sering didengar, masih melayani pasien.

“Apalagi ada orang melahirkan, di situ paling menyakitkan. Kalau mau dibawa ke puskesmas pakai motor susah jalan, kalau di mobil itu kan turun naik turun naik. Jadi rata-rata kalau melahirkan bawa di puskesmas, itu dia melahirkan di tengah jalan karena akses jalan seperti itu, dan sudah banyak jadi korban, tidak salah sekitar 10 orang,” tuturnya.

“Rata-rata yang melahirkan di tengah jalan karena jarak Parang Benrong dengan Puskesmas Kapita kurang lebih 15 km, jadi agak jauh perjalanannya. Bidan itu kadang kalau minta dia kesini tapi kalau dia ada pasien dia tidak bisa kesini,” ungkapnya.

Di sisi lain, warga harus bertahan hidup dengan memanfaatkan setiap lahan untuk menanam jagung. Secara umum, warga Dusun Parang Benrong bekerja sebagai petani jagung.

Hal yang paling sulit dirasakan ketika mendistribusi hasil panen ke pusat Kabupaten Jeneponto dan Kota Makassar. Itu harus bergantung pada kondisi cuaca, karena ketika musim hujan, akses jalan yang digunakan untuk membawa hasil panen hampir mustahil dilalui.

“Jagung di sini kalau mau dijual susah kalau musim hujan begini, mau masuk itu mobil susah terutama jagung, karena akses jalan. Kalau musim kemarau lumayan tapi hujan itu sudah tidak bisa lewat karena sudah seperti lumpur,” bebernya.

“Kalau kita panen jagung itu tunggu jalan kering baru bisa dikasih turun karena ada mobil susah bisa masuk. Biasa kita panen dapat 4 sampai 5 ton tapi kalau dijual itu tinggal 2 ton karena sudah dimakan ulat,” lanjut dia.

Ketertinggalan di dusun ini, kata Madjid, salah satunya dari minimnya keberpihakan dan dukungan pemerintah di bidang pendidikan. Fasilitas yang tidak memadai membuat guru tidak berani menetap di Parang Benrong. Imbasnya, siswa kadang belajar di sekolah hanya sekali dalam seminggu.

“Anak-anak di sini sampai saat ini jadi hambatan itu gurunya. Dia juga itu mau ke sekolah tapi akses jalan bikin dia seperti itu. Biasanya kalau hujan tidak bisa masuk motor. Anak-anak kalau ke sekolah dia menunggu gurunya sampai jam 9 kalau guru tidak ada dia pulang. Biasa itu guru sudah datang siswa sudah pulang,” terangnya.

Warga yang menyelesaikan pendidikan sampai ke tingkat SMA saja hanya bisa dihitung dengan jari. Terlebih lagi ke tingkat perguruan tinggi. Selama ini, hanya satu orang yang berhasil raih gelar sarjana.

“Di sini cuman satu orang saja yang sarjana. Anak-anak sekarang kalau tamat di SD, masuk SMP. Ada juga yang baru satu tahun dia mengeluh, karena dia tidak sanggup jalan kaki, biar pun dia punya motor kalau hujan tidak bisa,” ucapnya.

“Jadi 60 persen di sini dia tidak tamat sekolah, dia menikah. Biasa ada yang SMP, atau sudah tamat SMP sudah menikah. Tapi kalau sudah diperbaiki ini jalan dan sudah di-listrik pasti berkembang, karena dia lagi ketinggalan zaman,” tambah dia.

Senada, Kepala Desa Gunung Silanu Nasrullah mengatakan, Pemkab Jeneponto masih mengakui dusun tersebut sebagai kawasan hutan lindung. Seharusnya mereka turun langsung di lapangan supaya mengetahui secara riil. Karena sudah lama warga menempati lokasi tersebut.

“Itu kita lihat di lapangan, artinya itu kita katakan hutan lindung, tapi itu sudah lahan terbuka. Makanya kalau pak bupati mungkin katakan hutan lindung tetapi dia tidak lihat di lapangan,” ucapnya.

Pihaknya sudah pernah membangun komunikasi dengan PLN guna mengkonfirmasi pemasangan listrik di Dusun Parang Benrong. Tapi usaha tersebut belum membuahkan hasil karena terkendala perizinan sebagai kawasan hutan lindung di DLHK Sulsel.

“Itu kan pernah saya kasi masuk proposal ke PLN untuk kelistrikan. Jadi PLN ini sudah siap tapi terkendala perizinan di lingkungan hidup dan kehutanan provinsi. Itu dari pihak PLN yang urus jadi dia bilang begitu. Kalau ada pembangunan jalan juga harus ada izin,” paparnya.

Anehnya, kata dia, disebutkan anggaran pemerintah tidak diperbolehkan untuk pembangunan di dusun tersebut, tapi di sisi lain ada sekolah SD yang cukup lama sudah dibangun oleh pemerintah.

“Itu yang lucunya karena pembangunan tidak bisa masuk seperti jalan dan listrik. Sementara ada sekolah di dalam, sebenarnya agak bingung juga di situ,” imbuh Nasrullah.

Pada 2022 lalu, ia mengatakan sejumlah stakeholder dari pihak pemerintah pusat pernah duduk bersama, guna membahas status dan kondisi Dusun Parang Benrong. Tapi tak ada tindak lanjutnya hingga saat ini.

“Pernah ada duduk bersama PLN, Dinas kehutanan pro dan kabupaten, perwakilan kementerian juga pernah ke Gunung Silanu itu duduk bersama. Sampai sekarang itu nda tahu sampai di mana statusnya mengenai izin-nya. Itu mi persoalan izin terkait hutan lindung dibahas,” tandasnya.

Dia tak menampik bahwa yang paling dibutuhkan masyarakat saat ini ialah pembangunan jalan dan pemasangan akses listrik. Sebab, itu menjadi kebutuhan dasar dusun yang bisa mendorong kualitas ekonomi, pendidikan dan kesehatan.

“Kemudian mengenai akses jalan dan listrik itu yang jadi kebutuhan utama untuk memenuhi kebutuhan kesehatan pelayanan masyarakat di sana dan pendidikan,” jelasnya.

Olehnya itu, ia berharap agar Pemkab Jeneponto dan Pemprov Sulsel harus memfasilitasi untuk duduk bersama membahas tindak lanjut perizinan dan nasib hidup warga Dusun Parang Benrong.

“Makanya itu pemerintah harusnya duduk bersama membicarakan tentang ini. Jadi harapan saya bagaimana supaya bisa duduk bersama dengan pihak berwenang membicarakan tentang persoalan kawasan hutan lindung, supaya bisa keluarkan izinnya,” harapnya.

“Karena dari dulu kita pemerintah desa yang di bawah ini sudah berusaha agar mereka dapat izin tapi tidak berhasil. Makanya lebih baik kita duduk bersama,” pungkasnya.

Terpisah, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Sulsel, Andi Hasbi menjelaskan untuk warga yang tinggal di pemukiman kawasan hutan lindung itu memang tidak boleh melakukan pembangunan, terkecuali sudah mengantongi izin melalui Review RTRW Kehutanan.

“Tergantung dari pemerintah kabupaten, masalahnya di situ. Ini waktunya sampai berakhir ini Februari kasi masuk usulan. Namanya Review RTRW dari sektor kehutanan. Sudah saya kirimkan ke bupati-bupati, untuk mereka usulkan review artinya mau keluarkan dari kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan,” jelas Hasbi.

Begitu pun dengan aturan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA). Tapi berdasarkan data DLHK Sulsel, Pemerintah Kabupaten Jeneponto tidak pernah mengusulkan termasuk di Dusun Parang Benrong.

“Terus kemarin ada aturan namanya TORA, dia boleh dikeluarkan izin pembebasan lahan kalau dia sudah 20 tahun disitu. TORA itu tanah objek reforma agraria. Itu kan diminta setiap kabupaten usulkan, tapi Kabupaten Jeneponto tidak usulkan jadi tetap tidak masuk. Iye aturan masih berlaku,” bebernya.

“Masih bisa kalau sekarang mau usulkan tapi harus dibiayai oleh pemdanya sendiri, sampai Rp600 juta, kalau kita cuman bantu prosesnya. Saya kemarin lihat Jeneponto tidak usulkan, iye tahun ini. Ada daerah lain seperti Bulukumba,” sambungnya.

Olehnya itu, Hasbi menyampaikan bahwa jika Pemkab Jeneponto merasa kondisi Dusun Parang Benrong itu betul-betul membutuhkan, maka secepatnya ajukan usulan sebelum pihaknya tindak lanjut ke Pemerintah Pusat.

“Tergantung dia kalau dia sudah turun terus dia usulkan, tapi kalau terlambat juga tidak ada gunanya, karena kalau sekedar lihat tapi dia tidak anggarkan apa gunanya. Harus diusulkan ke provinsi nanti kami usul ke Jakarta,” tukasnya.

#Pj Bupati Jeneponto Rencana Tinjau Kondisi Warga Parang Benrong

Penjabat (Pj) Bupati Jeneponto Junaedi Bakri mengatakan, pemukiman tersebut memang didesain sebagai komunitas adat terpencil. Jadi keaslian alamnya tidak bisa dirusak.

“Memang itu komunitas adat terpencil, jadi dijaga itu keaslian alamnya keaslian lingkungan,” bebernya.

Dia juga menjelaskan, kewajiban warga Dusun Parang Benrong membayar pajak itu bukan sebagai kepemilikan lahan. Tapi PBB dengan status pemanfaatan lahan yang ditempati warga.

“Itu PBB bukan kepemilikan tapi karena dia yang memanfaatkan lahan jadi harus dia bayar pajak,” imbuhnya.

Kendati begitu, ia belum mengetahui terkait kondisi sosial ekonomi warga di pemukiman tersebut. Dia berencana untuk meninjau atau turun langsung memastikan kondisi nasib warga di Dusun Parang Benrong.

Sedangkan keluhan warga soal izin pembebasan lahan, Junaedi mengatakan bakal berupaya mencari solusi agar mereka juga mendapat jaminan hidup yang layak seperti warga pada umumnya.

“Nanti saya pikirkan lagi bagaimana solusinya. Nanti saya coba koordinasikan,” tegas Junaedi.

Hal ini, kata dia, sejalan dengan arahan Pj Gubernur Sulsel terkait dengan pemanfaatan hasil tanaman warga di kawasan tersebut. Mereka rencana untuk kembangkan jagung dan sukun di Dusun Parang Benrong.

“Iye saya mau jalan-jalan ke situ (Dusun Parang Benrong), mau kembangkan programnya pak pj gubernur, iya sukun dan jagung. Kita mau ubah itu komoditi masyarakat, jagung dan sukun,” tukasnya.

“Pak gubernur juga mau tanam banyak-banyak sukun di sana,” tambahnya. (A/Fadli)