JAKARTA INIKATA.co.id – Dewan Pimpinan Daerah Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (DPD APDESI) Provinsi Sulawesi Selatan menyampaikan sejumlah catatan kritis terhadap pelaksanaan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 17 Tahun 2025 tentang Percepatan Pembangunan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (Kopdes MP).
Catatan tersebut disampaikan Ketua DPD APDESI Sulsel, Sri Rahayu Usmi, dalam rapat dengar pendapat (RDP) bersama Komisi VI DPR RI di Jakarta, Senin (10/11/2025).
Sri Rahayu mengapresiasi langkah pemerintah memperkuat ekonomi desa melalui koperasi, namun menilai pelaksanaan program Kopdes MP di lapangan masih menghadapi banyak kendala yang berpotensi membebani pemerintah desa, baik secara administratif maupun hukum.
“Banyak kepala desa belum memahami mekanisme kerja dan tanggung jawab hukum dalam pelaksanaan Kopdes Merah Putih karena belum ada pedoman teknis resmi dari kementerian terkait,” ujarnya di hadapan pimpinan dan anggota Komisi VI.
Menurut Apdesi Sulsel, terdapat sedikitnya tujuh persoalan utama dalam implementasi Kopdes MP.
Di antaranya, minimnya sosialisasi dan pendampingan teknis, ketidakjelasan mekanisme pertanggungjawaban keuangan, hingga skema jaminan 30 persen Dana Desa yang dinilai melanggar prinsip otonomi dan kemandirian desa.
Selain itu, sejumlah desa melaporkan keterlambatan pencairan Dana Desa akibat persyaratan tambahan yang dikaitkan dengan program Kopdes MP tanpa dasar hukum yang jelas.
Kondisi ini menyebabkan tertundanya berbagai program prioritas, seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT), ketahanan pangan, dan pemberdayaan masyarakat.
“Keputusan terkait Kopdes MP di banyak tempat tidak melalui Musyawarah Desa. Ini bertentangan dengan asas partisipatif dan keterbukaan publik,” tegas Sri Rahayu.
Ia juga menyoroti potensi risiko hukum karena belum adanya pembagian kewenangan yang jelas antara pemerintah desa, PT Agrinas Pangan Nusantara, Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), dan pemerintah pusat.
Dari sisi hukum, APDESI Sulsel menilai pembentukan Kopdes MP secara top-down melalui Inpres tanpa mekanisme sukarela warga desa berpotensi bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.
“Koperasi seharusnya dibentuk berdasarkan kesepakatan minimal 20 warga, bukan melalui penetapan administratif dari atas,” ujarnya.
APDESI Sulsel juga menyoroti persoalan pengadaan lahan desa untuk pembangunan fasilitas koperasi dan gudang yang dinilai belum memiliki kejelasan tata kelola maupun kepemilikan aset.
Karena itu, pihaknya meminta adanya koordinasi lintas kementerian agar pembangunan tidak menimbulkan pelanggaran tata ruang atau konflik aset.
Melalui forum RDP tersebut, APDESI Sulsel menyampaikan beberapa rekomendasi utama kepada Komisi VI DPR RI, yaitu:
- Mendorong digelarnya Rapat Koordinasi Nasional lintas kementerian dengan melibatkan DPP Apdesi untuk evaluasi menyeluruh pelaksanaan Inpres 17/2025.
- Menyusun petunjuk teknis dan pelaksanaan yang menjamin partisipasi penuh pemerintah desa, transparansi keuangan, serta perlindungan hukum bagi aparatur desa.
- Melakukan audit dan kajian hukum independen atas peran PT Agrinas Pangan Nusantara guna mencegah konflik kepentingan dan potensi kerugian negara.
- Meningkatkan kapasitas SDM desa dalam manajemen koperasi dan literasi keuangan.
- Melakukan reorientasi program Kopdes MP agar fokus pada pemberdayaan ekonomi lokal berbasis potensi wilayah, bukan sekadar proyek fisik.
- Menyelesaikan masalah pengadaan lahan melalui pendataan ulang aset desa dan pemanfaatan tanah negara nonproduktif.
“Semangat kami bukan untuk menolak kebijakan pemerintah, tetapi memastikan akuntabilitas, kemandirian, dan marwah pemerintahan desa tetap terjaga,” tutur Sri Rahayu.
Ia berharap Komisi VI dapat menindaklanjuti masukan tersebut melalui mekanisme pengawasan lintas kementerian agar kebijakan nasional benar-benar berpihak kepada masyarakat desa.(**)
