MAKASSAR, INIKATA.co.id — Eks Anggota DPD RI asal Sulawesi Selatan, Litha Brent, melayanhkan protes atas tindakan kurator yang melelang aset miliknya berupa lahan seluas 23.569 meter persegi yang terletak di Jalan Urip Sumoharjo, Makassar, dengan harga yang dinilainya tak masuk akal.
Lahan yang sejak lama digunakan sebagai terminal bus PO Litha & Co itu dilelang dengan nilai Rp70,8 miliar, padahal Penilaian appraisal menunjukkan nilai wajar mencapai Rp228 miliar dan Nilai Jual Objek Pajak (NJO) di lahan tersebut sebesar Rp179 miliar.
“Itu kan tidak benar. Masa lahan nilainya ratusan miliar tapi dijual hanya Rp70 miliar. Ada apa di situ?,” kata Litha Brent saat ditemui di Kantor Perwakilan PO Litha Bus, Jalan Gunung Merapi, Makassar, Selasa (11/11/2025).
Menurutnya, pelelangan dilakukan pada 28 Oktober 2025, dengan pelunasan pembayaran oleh pemenang lelang pada 4 November 2025. Sehari kemudian, pihak pembeli datang memberi tahu bahwa lahan sudah beralih kepemilikan, lalu pada 7 November 2025 mereka datang membawa sejumlah aparat Kepolisian untuk mengambil alih lahan secara paksa.
“Kegiatan seperti itu kan harus ada penetapan pengadilan dulu baru bisa dieksekusi. Ini malah langsung kuasai lahan pakai aparat,” ujar Litha yang menyebut kawasan tersebut selama ini menjadi tempat pelayanan transportasi warga Makassar.
Ia menyesalkan tindakan penguasaan lahan yang disebutnya tergesa-gesa dan tidak disertai dasar hukum yang jelas.
“Kami tidak tahu harus melapor ke mana lagi, karena yang datang sudah lengkap dengan Brimob,” kata Litha menambahkan.
Putusan Perdata Umum Lebih Dulu Berkekuatan Hukum Tetap

Foto : Kuasa Hukum Ahli Waris Lucky Sappetau dkk, Jeremias Rarsina
Kuasa hukum ahli waris yang memiliki hak atas objek lahan yang dilelang, Lucky Sappetau dkk, melalui penasihat hukumnya Jermias Rarsina, memberikan penjelasan lengkap terkait dasar hukum keberatan mereka terhadap pelelangan aset yang sebelumnya dimiliki oleh Litha Brent.
Menurut Jermias, persoalan ini tidak bisa dipandang hanya dari aspek kepailitan semata, melainkan juga harus mempertimbangkan putusan perdata umum yang telah lebih dahulu berkekuatan hukum tetap (inkracht) dan memberikan hak kepada ahli waris lain atas sebagian objek yang kini dijual melalui lelang.
“Pertama, publik harus tahu, terutama masyarakat di Kota Makassar, bahwa dalam persoalan ini selain ada sengketa kepailitan yang prosesnya sementara berlangsung, cara masuknya pembeli dalam lelang pailit itu sendiri sudah menjadi perdebatan. Di sisi lain, objek yang dijual lelang itu sebelumnya pernah diperkarakan secara perdata umum di Pengadilan Negeri Makassar dan telah dikabulkan haknya oleh pengadilan,” ujar Jermias.
Ia menjelaskan, dalam perkara perdata Nomor 136/Pdt.Plw/2012/PN.Mks, pengadilan telah memberikan hak 1/3 bagian kepada para ahli waris, termasuk kliennya, Lucky Sappetau dkk. Putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap.
“Perkara Nomor 136 itu memberikan hak kepada ahli waris lain selain Pak Litha Brent, yang saat itu juga dinyatakan sebagai debitur pailit atas objek yang sama. Pertanyaan hukumnya sederhana, antara putusan pailit dengan putusan perdata umum Nomor 136 tahun 2012, mana yang lebih dulu berkekuatan hukum tetap?” kata Jermias.
Menurutnya, perkara kepailitan terhadap Firma Litha memang pernah bergulir pada tahun 2012, tetapi dalam putusan akhir di tingkat Peninjauan Kembali (PK), Firma Litha tidak dinyatakan pailit. Dengan demikian, status hukum kembali seperti semula dan tidak ada pernyataan pailit yang sah pada waktu itu.
“Sedangkan perkara yang diajukan oleh pihak kami, Lucky Sappetau dan kawan-kawan sebagai ahli waris, adalah sengketa perdata mengenai kewarisan atas objek yang sama. Perkara itu diputus tahun 2012 dan pada 2013 telah berkekuatan hukum tetap. Dalam putusan tersebut, pengadilan memerintahkan Pak Litha Brent untuk menyerahkan bagian harta warisan kepada ahli waris lain, termasuk klien saya, sebesar 1/3 bagian,” terang Jermias.
Ia menegaskan, sejak putusan Nomor 136/Pdt.Plw/2012/PN.Mks itu berkekuatan hukum tetap, maka hak kepemilikan ahli waris telah sah dan mengikat. Baru kemudian, pada tahun 2013 muncul kembali perkara PKPU dan kepailitan, dan pada 2014 barulah keluar putusan pailit.
“Artinya, putusan perdata umum tentang hak waris itu lahir dan berkekuatan hukum terlebih dahulu dibanding perkara pailit. Dalam putusan tersebut, ada dua sifat hukum yang harus dimaknai oleh Pengadilan Negeri Makassar. Pertama, putusan itu menciptakan hukum tentang kepemilikan bahwa hak atas lahan diberikan kepada ahli waris. Kedua, putusan itu menghukum Litha Brent untuk menyerahkan bagian tersebut kepada ahli waris lainnya,” papar Jermias.
Menurutnya, karena hak kepemilikan itu sudah melekat, maka dalam perkara pailit berikutnya, kurator dan pihak bank (dalam hal ini BNI) semestinya beritikad baik dengan memberitahukan bahwa sebagian dari aset yang dimasukkan dalam daftar harta pailit telah lebih dulu dimiliki secara sah oleh ahli waris berdasarkan putusan pengadilan.
“Namun hal itu tidak dilakukan. Mereka tetap mencampuradukkan objek yang sudah diputus lebih dulu ke dalam harta pailit, sehingga kemudian muncul putusan pailit di tahun 2014. Padahal, secara hukum, hak ahli waris sudah dilindungi dan tidak dapat dihapuskan,” ujarnya.
Jermias menjelaskan bahwa putusan perdata tahun 2012 itu memiliki tiga kekuatan hukum utama:
1. Kekuatan sah dan mengikat, karena di dalamnya terdapat amar putusan yang menetapkan hak milik ahli waris serta memerintahkan penyerahan bagian hak milik tersebut.
2. Nilai pembuktian hukum, karena negara melalui putusan pengadilan telah memberikan pengakuan yang sah atas hak kepemilikan kepada ahli waris.
3. Kekuatan eksekutorial, sebab putusan itu sudah dapat dilaksanakan, bahkan Litha Brent telah menyerahkan bagiannya secara sukarela kepada Lucky Sappetau dkk selaku ahli waris.
“Dengan demikian, hak ahli waris sudah melekat dan tidak dapat dihapus atau hilang kepemilikan atas objek lelang meskipun muncul putusan pailit di tahun 2014,” tegasnya.
Terkait keterlibatan aparat kepolisian dalam pengambilalihan lahan hasil lelang, Jermias menilai kehadiran mereka tidak sesuai prosedur hukum.
“Dalam pelaksanaan eksekusi, kapasitas polisi baik umum maupun Brimob adalah sebatas pengamanan. Mereka baru dapat hadir setelah ada penjadwalan dan penetapan eksekusi oleh pengadilan. Tapi yang terjadi di lokasi itu berbeda, mereka justru hadir lebih dulu bersama pihak pemenang lelang seolah-olah bertindak sebagai pengamanan. Hal tersebut telah menimbulkan ketakutan secara psikologi,” ungkapnya.
Menurut Jermias, kondisi tersebut menimbulkan kesan bahwa tindakan aparat dilakukan “by order” dan bukan berdasarkan prosedur hukum sebagaimana layaknya kegiatan pelaksanaan eksekusi.
Polisi profesional dan modern, kata dia, seharusnya menempatkan dirinya sesuai fungsi, yaitu melayani dan melindungi masyarakat. Di mana di lokasi itu belum ada penetapan eksekusi atas hasil lelang, maka seharusnya dalam tindakannya bukan bersikap sebagaimana pengamanan dalam pelaksanaan eksekusi.
Hal yang sama, lanjut Jermias, juga pernah terjadi di Jalan Gunung Merapi, Makassar. Di mana Pengadilan Negeri Makassar datang untuk melaksanakan eksekusi terhadap objek dibeli dari proses lelang dan itu tidak dapat dilakukan secara sukarela, makanya dilakukan eksekusi secara paksa. Baru saat itulah hadirlah aparat kepolisian.
“Kenapa cara-cara ini lagi yang dilakukan tidak pada tempatnya yang terjadi pada objek yang berada di Jalan Urip Sumoharjo. Itu perlakuan-perlakuan yang tidak bijaksana. Kalau saya mau katakan upaya paksa demikian adalah sebuah kebiadaban,” tutur Jermias.
Ia menilai cara-cara yang dilakukan di lahan Jalan Urip Sumoharjo tersebut tidak bijaksana dan melanggar prosedur hukum.
“Kalau saya boleh katakan, ini adalah bentuk upaya paksa yang tidak dibenarkan oleh regulasi. Orang ingin memperoleh haknya dengan cara-cara yang tidak sesuai hukum,” ujar Jermias menegaskan.
Ia kemudian menyerukan kepada pimpinan Polri agar menghentikan praktik-praktik yang tidak sesuai dengan prosedur hukum.
“Harapan saya kepada Kapolri, hentikan cara-cara yang tidak sesuai dengan prosedur hukum. Penegakan hukum harus berdasarkan asas keadilan dan bukan berdasarkan kekuatan,” tutupnya. (*)
