Kepemimpinan Informal “Gelar Haji” dalam Suku Bugis Makassar dalam Membangun Kesehatan pada Masyarakat Pedesaan

OPINI
Oleh: Hariyanto (Mahasiswa Prodi Kesehatan Masyarakat Pascasarjana Unhas)

Di Indonesia, gelar “Haji” di kalangan umat Islam memiliki makna yang sangat penting. Gelar ini diberikan kepada individu yang telah melaksanakan ibadah haji ke Tanah Suci, sebuah kewajiban agama yang harus dipenuhi oleh setiap Muslim yang mampu, baik dari segi materi maupun fisik. Namun, lebih dari sekadar simbol spiritual, gelar “Haji” memiliki kedudukan tinggi dalam struktur sosial masyarakat, terutama di kalangan suku Bugis Makassar.

Gelar ini memberikan hak untuk dihormati dan diikuti dalam banyak aspek kehidupan, pada pertimbangan ini penulis sangat berharap bahwa mereka yang bergelar haji dalam konteks hubungan bermasyarakat dapat berperan dalam pelaksanaan program kesehatan di tempat masing-masing. Bagi masyarakat Bugis Makassar, seorang haji dianggap memiliki kedalaman pengetahuan yang tidak hanya mencakup agama, tetapi juga budaya dan kehidupan sosial mereka.

Oleh karena itu, seorang haji sering kali diandalkan sebagai pemimpin informal dalam komunitas, dengan peran penting dalam membangun dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Di banyak daerah pedesaan, haji memiliki pengaruh yang kuat, tidak hanya sebagai pemimpin spiritual tetapi juga sebagai penggerak perubahan sosial, termasuk dalam aspek kesehatan. Sangat penting untuk membahas sejauh mana kepemimpinan informal yang dimiliki oleh merek dengan gelar haji dapat berperan dalam membangun kesehatan masyarakat pedesaan suku Bugis Makassar.

Kepemimpinan Informal dalam Masyarakat Bugis Makassar

Setiap tahun penyelenggaraan ibadah haji pada suku bugis-makassar menjadi fenomena menarik, lihat saja mereka yang baru saja pulang dari tanah suci, sering kita lihat perayaan atau bentuk syukur atas gelar haji dengan parade busana yang begitu mencolok.

Hal ini juga sebagai simbol bahwa gelar haji adalah gelar terhormat yang perlu untuk divisualisasikan. Pemandangan serupa dapat kita lihat pada berbagai acara kemasyarakatan, khususnya di desa, dimana mereka dengan gelar haji dapat dengan mudah kita ketahui melalui penampilan mereka.

Hal ini secara budaya pada masyarakat pedesaan bugis makassar, memang menunjukkan bahwa eksistensi mereka yang bergelar haji pada strata sosial mempunyai kedudukan terhormat di tengah-tengah masyarakat. Pada konteks ini kemudian mereka dengan gelar haji memungkinkan mendapatkan posisi dalam kedudukan di luar struktur organisasi resmi, namun dapat mempengaruhi, yang diharapkan secara positif, perilaku masyarakat sekitar, atau dengan kata lain mereka dapat menjadi pemimpin informal, sama seeprti tokoh masyarakat lain yang ada di masyarakat.

Kepemimpinan informal merujuk pada bentuk kepemimpinan yang tidak didasarkan pada posisi atau jabatan resmi, melainkan pada pengaruh pribadi yang diperoleh dari rasa hormat dan kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat. Dalam masyarakat Bugis Makassar, gelar haji bukan hanya sebuah simbol religius, tetapi juga memberikan status sosial yang tinggi. Mereka yang memperoleh gelar haji setelah menunaikan ibadah haji dianggap memiliki pengetahuan agama yang luas dan pengalaman hidup yang mendalam, sehingga sering kali dipandang sebagai figur yang layak untuk memimpin dalam berbagai aspek kehidupan sosial Seorang haji dihormati dalam masyarakat bukan hanya karena kedalaman pemahaman agamanya, tetapi juga karena peranannya dalam membimbing masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik.

Dalam struktur sosial Bugis Makassar,haji bukan hanya pemimpin spiritual, tetapi juga seorang panutan dalam aspek sosial, ekonomi, dan budaya. Mereka sering kali dijadikan rujukan dalam pengambilan keputusan, yang tentunya termasuk dalam masalah kesehatan, yang menjadi tantangan besar di pedesaan. Tentunya mereka yang disebut sebagai pemimpin informal dengan gelar haji dalam konteks ini adalah mereka yang memiliki kapabilitas untuk itu sehingga dapat mempengaruhi penilaian selanjutnya tindakan masyarakat.

Konteks itu antara lain perannyaa sebagai tokoh agama dan tokoh masyarakat. Salah satu peran utama seorang haji dalam konteks keagamaan pada masyarakat pedesaan melalui kegiatan ceramah agama dapat memberikan muatan terkait dengan situasi kesehatan yang dihadapi atau berpotensi dihadapi oleh masyarakat sekitarnya.

Dalam budaya Bugis Makassar, agama memegang peranan penting dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, seorang haji yang memiliki kedalaman ilmu agama sering kali mengadakan pengajian, kajian, atau ceramah dalam kegiatan rutin masyarakat.

Dalam acara-acara seperti itu, seorang haji dapat menyelipkan pesan-pesan tentang pentingnya menjaga kesehatan tubuh dan lingkungan. Ajaran Islam sendiri sangat mendorong umatnya untuk menjaga kebersihan dan kesehatan.

Rasulullah SAW bahkan menekankan pentingnya menjaga kebersihan tubuh, makanan yang sehat, serta menghindari kebiasaan yang bisa merugikan kesehatan. Seorang haji dengan pemahaman agama yang baik dapat menanamkan nilai-nilai ini kepada masyarakat melalui ceramah-ceramah yang bersifat edukatif.

Penyuluhan tentang kesehatan ini sangat relevan di pedesaan, di mana akses terhadap informasi sering kali terbatas. Sebagai pemimpin informal, seseorang bergelar haji melalui pelibatan oleh instansi kesehatan, memiliki kemampuan untuk menggerakkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam berbagai program kesehatan.

Program-program seperti pemeriksaan kesehatan massal atau gratis, posyandu, imunisasi, dan pemberantasan penyakit menular sering kali menemui kesulitan dalam hal partisipasi aktif dari masyarakat.

Dalam masyarakat pedesaan, banyak individu yang kurang peduli terhadap pentingnya pemeriksaan kesehatan atau vaksinasi karena keterbatasan pemahaman dan akses informasi. Dalam situasi ini, seorang haji yang dihormati dan dipercaya dapat memobilisasi masyarakat untuk mengikuti program-program kesehatan ini.

Melalui pengaruh dan jaringan sosial yang luas, haji dapat mengajak masyarakat untuk terlibat dan mendapatkan dalam layanan kesehatan yang diselenggarakan oleh pihak pemerintah atau lembaga kesehatan.

Mereka sering kali memiliki kedekatan pribadi dengan anggota masyarakat, sehingga mereka dapat lebih mudah untuk mengajak warga desa untuk ikut serta dalam upaya meningkatkan kesehatan bersama.

Selain itu penting untuk mengatasi permasalahan kepercayaan tradisional dan stigma layanan kesehatan. Di masyarakat pedesaan, pengobatan tradisional sering kali lebih dipercaya dan digunakan daripada pengobatan oleh tenaga kesehatan. Hal ini bisa menjadi penghalang dalam usaha peningkatan kesehatan masyarakat.

Kepercayaan pada dukun atau pengobatan tradisional tanpa dasar penelitian ilmiah, terutama di kalangan masyarakat yang hidup jauh dari pusat-pusat informasi. Tingginya stigma yang berakibat pada tantangan pengobatan penyakit tertentu seperti TBC, Kusta, HIV AIDS dll, termasuk juga sasaran layanan imunisasi yang sulit untuk dijangkau.

Untuk mengatasi hal ini, mereka dengan gelar haji atau tokoh masyarakat lainnya sebagai figur yang dihormati dalam masyarakat dapat berperan sebagai jembatan antara pengobatan tradisional dan layanan kesehatan oleh pemerintah.

Pemicuan terhadap fungsi-fungsi diatas, dalam konteks kepemimpinan informal ini dapat diberikan kepada jemaah haji ketika berada di tanah suci melalui manasik haji menjelang kepulangan oleh petugas haji, serta edukasi kesehatan oleh petugas kesehatan kloter yang mendampingi jemaah haji.

Kegiatan ini juga dapat dijadikan model oleh program kesehatan di daerah dengan menjadikan mereka yang bergelar haji sebagai relawan/kader dalam pelaksanaan program kesehatan, khususnya di pedesaan baik pada program yang terstruktur seperti pelibatan rutin, atau pada keadaan dengan gangguan insidentil pada penanggulangan wabah penyakit.

Sebagai kesimpulan, penulis ingin menyampaikan bahwa kepemimpinan informal yang dimiliki oleh mereka dengan gelar haji dalam suku Bugis Makassar memainkan peran yang sangat penting dalam membangun kesehatan masyarakat terutama pada daerah pedesaan.

Sebagai figur yang dihormati dan dipercaya, mereka yang bergelar haji tidak hanya berperan sebagai pemimpin spiritual, tetapi juga sebagai penggerak perubahan termasuk dalam bidang kesehatan.

Melalui berbagai aktivitas penyuluhan agama, penggerakan partisipasi dalam program kesehatan, dan peran sebagai tokoh masyarakat, mereka dapat memberikan kontribusi besar dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Kepemimpinan informal haji, jika dikelola dengan baik, dapat menjadi salah satu kunci untuk menciptakan kehidupan yang lebih sehat dan sejahtera bagi masyarakat Bugis Makassar di pedesaan. Semoga ada yang tertarik untuk mengembangkan model ini.(**)