OPINI
Oleh: Hariyanto (Mahasiswa Semester I pada Prodi Doktor Kesehatan Masyarakat, Pascasarjana Unhas)
SAAT ini rekrutmen petugas kesehatan haji yang akan mendampingi jemaah haji tahun 144H/2026M tengah berproses.
Pusat Kesehatan Haji (Puskeshaji) Kemenkes RI melakukan seleksi yang sangat ketat untuk menghasilkan petugas-petugas yang kompeten dan profesional, serta memiliki integritas yang tinggi dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada jemaah haji.
Menjadi petugas kesehatan haji di Arab Saudi menjadi impian hampir seluruh tenaga kesehatan di tanah air, bertugas pada suasana yang kental dengan aspek religi pada pelaksanaan ibadah haji di tanah suci, memberikan pengalaman spiritual agung, yang bahkan, bagi beberapa petugas menjadi puncak pengabdian kepada sesama manusia dan negara tercinta.
Layanan kesehatan oleh petugas kesehatan di tanah suci memiliki banyak tantangan kesehatan yang diharapkan dapat di mitigasi melalui upaya penyeleggaraan kesehatan haji di daerah.
Hal ini menuntut optimalnya penyelenggaraan kesehatan haji oleh tim kesehatan haji yang ada di kabupaten/kota.
Tugas ini menjadi jalan pengabdian lain bagi petugas kesehatan di daerah, yang tidak berkesempatan bertugas di tanah suci, namun output dan manfaatnya sama besarnya dengan menjadi petugas kesehatan di tanah suci, melalui amanah dan amalan yang sama dalam menjaga kesehatan jemaah haji.
Ibadah haji merupakan rukun Islam yang wajib dilaksanakan oleh umat muslim yang mampu, baik dari segi finansial maupun fisik. Ritual ibadah haji di tanah suci membutuhkan kemampuan kesehatan fisik dan mental.
Tantangan kesehatan pelaksanaan ibadah haji sudah dimulai dari perjalanan jemaah haji dari domisili ke embarkasi/asrama haji, di pesawat, perjalanan ibadah di tanah suci, dari Madinah, Makkah, Arafah, Muzdalifah, Mina dan tempat
lainnya.
Jemaah haji mengalami banyak perubahan cepat dari segi cuaca, lingkungan, budaya dan kebiasaan, pola makan, pola tidur yang sangat berisiko bagi jemaah haji untuk mendapatkan masalah kesehatan.
Hal ini diperberat dengan kondisi jemaah haji yang banyak lansia dan memiliki penyakit bawaan.
Berdasarkan data Puskeshaji (2024), jumlah jemaah haji Indonesia yang memiliki penyakit bawaan adalah sebesar 73%, dan sebagian besar yang meninggal adalah yang memilki penyakit bawaan dari tanah air.
Oleh karena itu persiapan kesehatan haji harus dioptimalkan dalam mengawal penegakan istithaah kesehatan jemaah haji.
Istithaah kesehatan sangat krusial dalam memastikan bahwa jemaah haji mampu menunaikan ibadah dengan baik tanpa risiko kesehatan yang membahayakan diri sendiri maupun orang lain.
Pada proses ini, petugas kesehatan memiliki peran signifikan menegakkan standar pemeriksaan kesehatan untuk menilai status istithaah kesehatan dengan tetap menjunjung tinggi etika kesehatan.
Pentingnya Istithaah Kesehatan dalam Ibadah Haji
Istithaah kesehatan haji merupakan syarat bagi calon jemaah haji untuk dapat melakukan pelunasan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BIPIH).
Dalam pandangan islam, berdasarkan komisi fatwa MUI Tahun 2018 tentang Istithaah Kesehatan dijelaskan bahwa seseorang dinyatakan mampu, bila sehat secara fisik dan mental untuk menempuh perjalanan dan melaksanakan ibadah haji.
Bila ada udzur syar’I karena penyakit yang menghalangi ibadah haji, maka pelaksanaannya ditunda atau dibadalkan/ digantikan.
Pemerintah memiliki kewenangan untuk tidak mengizikan calon jemaah haji berangkat atas dasar pertimbangan syar’i dan medis.
Untuk mengatur terkait dengan ini, Pemerintah telah mengeluarkan regulasi melalui Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 15 Tahun 2016 yang mengatur tahapan pemeriksaan dan pembinaan kesehatan jemaah haji untuk mencapai istithaah kesehatan.
Secara teknis, Kemenkes telah mengeluarkan Keputusan Menteri Kesehatan (KMK) Nomor HK.01.07/Menkes/508/2024, yang mengatur tentang standar teknis pemeriksaan kesehatan dalam rangka penetapan status istithaah kesehatan jemaah haji.
Ketentuan ini dikeluarkan untuk memastikan bahwa jemaah memiliki kondisi fisik yang cukup kuat dan mental yang terjaga untuk menghadapi tantangan berat dalam pelaksanaan ibadah haji yang telah disebutkan diawal seperti perubahan cuaca ekstrem, aktivitas fisik yang berat, serta risiko penyakit menular di lingkungan yang padat serta memburuknya kondisi kesehatan akibat penyakit tidak menular.
Tanpa persiapan kesehatan yang cukup, jemaah haji berisiko mengalami komplikasi serius selama mereka menjalakan ritual ibadah haji.
Oleh karena itu, petugas kesehatan di kabupaten/kota memiliki tanggung jawab besar dalam melakukan pemeriksaan kesehatan untuk deteksi secara dini keadaan kesehatan, sehingga bisa diberikan pembinaan kesehatan sesuai dengan kondisi masing-masing jemaah, juga menentukan apakah calon jemaah haji memenuhi syarat kesehatan untuk diberangkatkan atau tidak.
Berbagai tantangan sering dihadapi pada implementasi ketentuan dalam penetapan istithaah tersebut, terutama penolakan hasil pemeriksaan kesehatan bagi calon jemaah haji yang tidak memenuhi syarat istithaah kesehatan.
Pada kondisi seperti ini, prinsip etika kesehatan berperan dalam menuntun petugas kesehatan haji di kabupaten/kota dalam mengambil keputusan yang adil, transparan, tidak merugikan dan bertanggung jawab.
Etika dalam Penegakan Istithaah Kesehatan Jemaah Haji
Dalam rangka penetapan status istithaah jemaah haji, petugas kesehatan harus mengedepankan lima prinsip utama etika kesehatan, yaitu beneficence (kebaikan), non-maleficence (tidak merugikan), autonomy (kebebasan individu), justice (keadilan), dan confidentiality (kerahasiaan).
Prinsip Beneficence (Kebaikan) membimbing petugas kesehatan harus memastikan bahwa pelayanan kesehatan yang dilakukan bertujuan untuk kebaikan jemaah.
Sangat penting dilakukan pemeriksaan kesehatan dengan benar, sehingga, memberikan dasar dalam melakukan pembinaan kesehatan, baik dalam bentuk latihan fisik maupun mengedukasi jemaah tentang risiko kesehatan yang kemungkinan akan dihadapi, sehingga dapat mempersiapkan kondisi kesehatan sebelum keberangkatan.
Selain itu, prinsip kebaikan juga dapat dilakukan petugas dengan memberikan layanan yang solutif, seperti pendampingan kesehatan bagi jemaah dengan penyakit atau kondisi kesehatan tertentu yang masih bisa berpeluang berangkat dengan kontrol ketat terhadap pengobatan baik pada penyakit menular seperti TBC maupun pada penyakit tidak menular.
Petugas harus senantiasa menawarkan upaya-upaya kesehatan yang memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada jemaah haji. Prinsip Non-Maleficence (Tidak Merugikan) membimbing petugas kesehatan untuk tidak boleh membiarkan jemaah yang memiliki kondisi medis berat untuk berangkat jika dapat berisiko membahayakan nyawa mereka.
Beberapa kondisi kesehatan dengan derajat keparahan tertentu sesuai ketentuan yang telah ditetapkan yang apabila dipaksakan untuk berangkat ke tanah suci dapat merugikan jemaah itu sendiri antara lain penyakit jantung, kanker, paru, hipertensi, diabetes dan lain-lain.
Selain itu ada beberapa penyakit tertentu yang berpotensi merugikan orang banyak bila dipaksakan untuk berangkat contoh penyakit TB aktif, kusta dan lain-lain.
Dalam situasi ini, petugas harus tegas dalam menyampaikan keputusan demi mencegah komplikasi kesehatan dan dampak yang ditimbulkan yang dapat berujung pada kondisi fatal. Prinsip Autonomy (Kebebasan Individu) memberikan nilai bahwa setiap jemaah memiliki hak untuk membuat keputusan terkait dengan status kesehatannya.
Namun petugas kesehatan harus memastikan bahwa keputusan tersebut diambil berdasarkan informasi yang jelas dan akurat yang diperoleh berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan yang akurat.
Hak jemaah untuk menerima informasi adalah hak dasar yang dimiliki setiap individu dalam konteks pelayanan kesehatan termasuk dalam pelayanan kesehatan haji.
Dalam etika kesehatan, hak ini memastikan bahwa jemaah haji diberikan penjelasan yang jelas, jujur, dan lengkap mengenai kondisi kesehatan mereka, prosedur medis yang akan dilakukan, jenis-jenis pemeriksaan kesehatan haji serta risiko dan manfaat yang timbul terkait hasil pemeriksaan kesehatan termasuk kemungkinan untuk tidak memenuhi syarat kesehatan untuk berangkat ke tanah suci.
Dengan mendapatkan informasi yang benar, jemaah haji dapat membuat keputusan yang lebih baik dan lebih sadar tentang pemeriksaan kesehatan yang akan mereka terima. Selain itu, jemaah haji memiliki hak untuk memahami prosedur yang akan dilakukan, termasuk mengenai biaya, efek samping, dan potensi komplikasi.
Calon jemaah haji dalam menerima informasi juga mencakup hak untuk mendapatkan informasi dalam bahasa yang mudah dimengerti, sesuai dengan tingkat pemahaman mereka.
Apalagi jenis pemeriksaan kesehatan terutama untuk pemeriksaan mental memerlukan pendalaman pertanyaan sehingga perlu dilakukan komuniasi yang efektif kepada calon jemaah haji.
Hal ini menjadi sangat penting terutama dalam penyelenggaraan kesehatan haji, calon jemaah haji mungkin tidak familiar dengan regulasi, prosedur atau istilah medis tertentu.
Secara keseluruhan, memberikan informasi kepada calon jemaah haji bukan hanya kewajiban etis termasuk kepada pengguna kesehatan lainnya, tetapi juga legal, yang mengutamakan transparansi, menghormati otonomi mereka, dan memperkuat hubungan kepercayaan antara jemaah haji dan petugas kesehatan haji di daerah.
Prinsip justice (keadilan) dalam pemeriksaan kesehatan haji mengacu pada pemberian pelayanan yang adil dan merata bagi semua calon jemaah haji, tanpa membedakan status sosial, ras, atau latar belakang lainnya.
Dalam konteks pelayanan kesehatan haji, prinsip ini menekankan bahwa setiap jemaah berhak menerima pelayanan yang setara, baik dari segi kualitas maupun aksesibilitas, meskipun jumlah calon jemaah yang sangat banyak dan kondisi yang penuh tantangan.
Petugas kesehatan haji harus memastikan bahwa setiap individu mendapatkan perhatian yang sama, termasuk dalam hal waktu pemeriksaan, diagnosa, dan pengobatan.
Mereka juga harus menghindari diskriminasi dan memberikan kesempatan yang sama bagi semua jemaah untuk memperoleh informasi kesehatan yang dibutuhkan, serta tindakan medis yang tepat.
Termasuk dengan memberikan layanan kesehatan asal provinsi atau daerah lain. Prinsip confidentiality (kerahasiaan data) dalam etika petugas kesehatan haji mengharuskan petugas/ tim pemeriksan kesehatan haji untuk menjaga kerahasiaan informasi kesehatan jemaah haji.
Hal ini berarti segala informasi medis, riwayat kesehatan, dan kondisi kesehatan yang diperoleh selama pemeriksaan atau perawatan harus disimpan dengan aman dan hanya dibagikan kepada pihak yang berwenang atau terkait langsung dengan perawatan jemaah, kecuali jika ada persetujuan eksplisit dari pasien.
Informasi terkait penyakit tertentu, riwayat medis, atau masalah kesehatan mental harus dijaga dengan sangat hati-hati agar tidak jatuh ke tangan pihak yang tidak berhak.
Menjaga kerahasiaan informasi menjadi sangat penting untuk menjaga kepercayaan jemaah kepada petugas kesehatan. Prinsip kerahasiaan ini juga mengharuskan petugas untuk menghindari pembicaraan atau pengungkapan data medis pasien di ruang publik atau di luar konteks yang relevan dengan perawatan medis.
Hal ini penting untuk menghormati privasi pasien dan memastikan bahwa data medis tidak disalahgunakan atau digunakan untuk tujuan lain di luar perawatan.
Secara keseluruhan, prinsip kerahasiaan dalam etika petugas kesehatan haji mendasari upaya untuk memberikan pelayanan medis yang profesional, menghormati hak privasi jemaah, dan menjaga kepercayaan antara pasien dan tenaga medis.
Tantangan Etika dalam Penegakan Istithaah Kesehatan
Meskipun prinsip-prinsip etika sudah jelas, dalam praktiknya, petugas kesehatan sering menghadapi dilema.
Beberapa tantangan utama meliputi tekanan sosial, jemaah dengan status kesehatan tidak memenuhi syarat memaksakan untuk berangkat.
Masyarakat menganggap ibadah haji sebagai kesempatan sekali seumur hidup, sehingga sulit menerima keputusan tidak layak berangkat.
Dalam situasi ini, petugas kesehatan harus menyampaikan keputusan dengan cara yang bijaksana dan penuh empati, sambil memberikan alternatif lain, seperti menunda keberangkatan hingga kondisi lebih stabil.
Selain itu tantangan penegakan istithaah kesehatan adalah kurangnya pemahaman jemaah terhadap Istithaah Kesehatan.
Banyak masyarakat yang menganggap pemeriksaan kesehatan bagi calon jemaah haji hanya formalitas untuk dilaksanakan.
Padahal ketentuan terkait istithaah kesehatan bertujuan untuk skrining kesehatan untuk melindungi mereka dari risiko kesehatan selama haji.
Oleh karena itu, sosialisasi harus diperkuat dan dilaksanakan di awal musim agar jemaah memahami pentingnya aspek kesehatan dalam ibadah haji.
Kegiatan ini dapat dilakukan secara terintegrasi dengan kegiatan manasik haji yang dilakukan oleh Kemenag atau dengan Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umrah (KBIHU) setempat.
Stakeholder ini sangat berpengaruh dalam mobilisasi dan mengarahkan jemaah, sehingga sangat membantu dalam pelaksanaan penyelenggaraan kesehatan haji di daerah.
Petugas kesehatan memiliki peran krusial dalam memastikan bahwa jemaah haji memenuhi syarat istithaah kesehatan sehingga harus dilaksanakan sesuai prinsip etika kesehatan.
Tugas ini tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga memiliki dimensi etika yang kompleks. Prinsip beneficence, non-maleficence, autonomy, justice, dan confidentiality harus menjadi pedoman dalam setiap pengambilan keputusan.
Penting bagi petugas kesehatan untuk menjalankan tugasnya dengan profesionalisme, empati, dan integritas.
Di sisi lain, sosialiasi kepada jemaah harus terus ditingkatkan agar mereka memahami bahwa istithaah kesehatan bukanlah penghalang untuk beribadah, melainkan upaya perlindungan bagi mereka sendiri.
Dengan sinergi antara petugas kesehatan, pemerintah, masyarakat dan jemaah, upaya penegakan istithaah kesehatan dapat berjalan lebih optimal, sehingga jemaah haji dapat melaksanakan ibadah haji dengan sehat, aman, lancar, dan penuh keberkahan.(**)