Daya Beli Lemah, Momentum Lebaran Tak Dongkrak Penjualan Ritel

MAKASSAR, INIKATA.co.id Penjualan ritel nasional mencatat pertumbuhan terendah menjelang Ramadan dan Idulfitri pada Februari 2025, situasi yang belum pernah terjadi sejak pandemi Covid-19 melanda.

Data Bank Indonesia menunjukkan kontraksi sebesar 0,5% secara tahunan (yoy) pada Indeks Penjualan Riil bulan tersebut, menggambarkan lemahnya konsumsi masyarakat di tengah tekanan ekonomi.

Pengamat Ekonomi dari Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar, Abdul Muthalib, mengungkapkan bahwa kelesuan ini dipengaruhi oleh kombinasi inflasi tinggi, lonjakan harga kebutuhan pokok, serta dampak pemutusan hubungan kerja (PHK) yang meluas.

“Daya beli masyarakat belum kembali normal meskipun aktivitas ekonomi sudah pulih pascapandemi,” ujarnya, Selasa (18/3).

Abdul menjelaskan, harga kebutuhan pokok yang meningkat menjelang Lebaran, khususnya bahan pangan dan energi, menjadi faktor utama masyarakat lebih selektif dalam membelanjakan uangnya.

“Belanja masyarakat kini berfokus pada kebutuhan primer, sementara konsumsi sekunder dan tersier cenderung terabaikan,” tambahnya.

E-Commerce Saingi Ritel Konvensional

Tren pergeseran konsumsi ke e-commerce turut memperburuk situasi ritel konvensional.

Menurut Abdul, konsumen kini lebih memilih belanja online karena harga yang lebih kompetitif dan kemudahan akses.

“Akibatnya, pusat perbelanjaan fisik mengalami penurunan pengunjung secara signifikan,” jelasnya.

Kebijakan perpajakan, seperti kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan pajak barang tertentu, juga menjadi tekanan tambahan.

Hal ini membuat masyarakat lebih berhati-hati dalam mengalokasikan pengeluaran.

Makassar, Potensi Perdagangan yang Tertekan

Sebagai pusat ekonomi di kawasan timur Indonesia, Makassar juga merasakan dampak lemahnya penjualan ritel.

Pasar tradisional masih menjadi pilihan utama, sementara ritel modern menghadapi tantangan berat dari platform digital.

“Banyak pelaku usaha ritel di Makassar belum sepenuhnya beradaptasi dengan tren digitalisasi,” kata Abdul.

Sektor pariwisata dan kuliner di Makassar, yang berkontribusi besar pada perputaran uang di pasar ritel, belum sepenuhnya pulih pascapandemi. Kondisi ini memperburuk kelesuan konsumsi masyarakat.

Abdul menekankan pentingnya peran pemerintah untuk mengatasi masalah ini.

“Distribusi bahan pokok perlu dijamin lancar, dan harga harus tetap terjangkau melalui intervensi pasar atau subsidi,” ujarnya.

Ia juga menyarankan pemberian insentif pajak bagi UMKM dan pelaku ritel konvensional agar mampu bersaing dengan e-commerce.

Lebih lanjut, pemerintah dapat membantu pelaku usaha ritel memasuki pasar digital melalui pelatihan, akses modal, dan pengembangan infrastruktur teknologi.

Menurut data BI, penjualan ritel pada Februari hanya tumbuh 0,8% secara bulanan (mom), setelah sebelumnya anjlok 4,7% pada Januari.

Jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, pertumbuhan ini tergolong paling rendah, bahkan saat mendekati puncak perayaan Lebaran.

“Biasanya sektor Makanan dan Minuman menikmati lonjakan penjualan menjelang Ramadan. Namun, tahun ini justru mencatat kontraksi 1,7% secara tahunan,” ungkap laporan BI.

Dengan tren penurunan ini, penjualan ritel di kuartal I-2025 diperkirakan hampir stagnan, tumbuh hanya 0,02% dari kuartal sebelumnya.

“Tanpa langkah konkret, sektor ritel bisa terus melemah, dan dampaknya akan meluas ke perekonomian nasional,” tutup Abdul.(**)