MAKASSAR, INIKATA.co.id – Kebijakan efisiensi anggaran yang diatur dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 berpotensi memberikan dampak besar terhadap sektor usaha di Sulawesi Selatan.
Pengusaha di berbagai bidang mengaku khawatir dengan konsekuensi ekonomi yang ditimbulkan oleh pemangkasan anggaran, terutama pada sektor perjalanan dinas, operasional, hingga infrastruktur.
Ketua Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (Asita) Sulsel, Didi Leonardo, mengungkapkan bahwa pengusaha sangat bergantung pada belanja pemerintah sebagai penggerak roda ekonomi.
Menurutnya, kebijakan ini membawa dampak langsung terhadap pengurangan pendapatan.
“Perputaran ekonomi akan terganggu. Sebab, banyak pengusaha yang selama ini bergantung pada kegiatan pemerintah. Pemangkasan anggaran yang mencapai hampir 50 persen tentu sangat signifikan dampaknya,” ujar Didi dikutip dari Harian Radar Makassar, Kamis (13/2).
Didi menyoroti bahwa efisiensi anggaran berdampak luas, mulai dari penurunan belanja makan-minum hingga terganggunya sektor akomodasi dan transportasi.
Ia juga menekankan pentingnya mempertimbangkan kondisi geografis Indonesia yang bercirikan wilayah kepulauan.
Aktivitas transportasi udara yang sering melibatkan belanja pemerintah sangat penting bagi perekonomian lokal.
“Indonesia ini daerah kepulauan. Pergerakan banyak didukung oleh belanja pemerintah, termasuk dari BUMN. Jika ini dibatasi, dampaknya menyebar hingga ke akomodasi, transportasi, bahkan konsumsi dasar,” jelasnya.
Menurut Didi, pengusaha kini dituntut mencari pasar nonpemerintah, meskipun berisiko menghadapi penurunan pendapatan.
“Mau tidak mau harus mencari market baru dari masyarakat umum. Kalau tidak, aktivitas ekonomi akan stagnan,” tambahnya.
Senada dengan Didi, Sekretaris Badan Pimpinan Daerah (BPD) Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Sulsel, Nasrullah, menyatakan bahwa kebijakan efisiensi anggaran berdampak langsung pada sektor perhotelan dan restoran.
Ia menyoroti aktivitas MICE (Meeting, Incentive, Conference, Exhibition) yang selama ini didominasi oleh kegiatan pemerintah sebagai salah satu sektor yang terpukul.
“Dampaknya pasti terasa, terutama pada pendapatan hotel dan restoran. Kegiatan MICE di Makassar saat ini masih sangat bergantung pada aktivitas pemerintah. Ketika kebijakan ini diterapkan, maka penurunan pendapatan sektor ini sulit dihindari,” ujarnya.
Nasrullah juga mengingatkan bahwa situasi ini berpotensi memicu langkah efisiensi oleh pengusaha hotel, termasuk pengurangan tenaga kerja atau bahkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
“Ketika pendapatan menurun, efisiensi menjadi langkah logis. Salah satunya adalah pengurangan karyawan,” imbuhnya.
Dampak kebijakan ini juga diperkirakan meluas ke sektor lain. Penurunan aktivitas hotel dan restoran akan mengurangi Pendapatan Asli Daerah (PAD) serta permintaan bahan pokok seperti beras, telur, dan daging, yang pada akhirnya memengaruhi petani, peternak, dan nelayan.
Kebijakan efisiensi anggaran ini merujuk pada arahan Presiden Prabowo Subianto melalui Inpres Nomor 1 Tahun 2025.
Arahan tersebut mencakup tujuh poin, di antaranya pembatasan kegiatan seremonial oleh pemerintah daerah.
Meski bertujuan untuk meningkatkan pengelolaan anggaran, kebijakan ini memicu kekhawatiran besar di kalangan pengusaha.(Fadli)