INIKATA.co.id – Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2024 akan berlangsung serentak di 38 provinsi dan 515 kabupaten/kota di Indonesia.
Para bakal calon kepala daerah sudah mempersiapkan segalanya untuk membangun citra, menebar baliho, poster, vidio trond dan alat peraga kampanye lainnya. Bahkan mereka rajin beranjangsana pada daerah daerah yang dilanda bencana. Meskipun yang sangat diharapkan publik adalah kebijakan yang antisipatif sebelum bencana melanda.
Komisi Pemilihan umum (KPU) juga tengah sibuk mempersiapkan seluruh tahapan pilkada serentak. Partai politik juga sibuk mempersiapkan calon kepala daerah sesuai “mekanisme” masing-masing partai politik.
Saya menggunakan tanda kutif pada kata mekanisme karena urusan kandidat kepala daerah diselesaikan oleh elit partai, bukan berdasarkan mekanisme baku yang ada dalam partai tersebut.
Demikian pula masyarakat, juga sangat antusias menanti pesta demokrasi ini yang digelar sekali dalam lima tahun. Antusias masyarakat menanti pilkada dengan varian motif yang beragam akan memperindah etalase politik.
Ada yang menunggu pilkada dengan motif lahirnya pemimpin baru, dengan gagasan besar untuk membangun daerah. Ada juga yang mengikuti pilkada sekedar bergembira mengikuti pilkada tanpa harapan. Alasannya sederhana yaitu memilih pemimpin dengan berbagai harapan akan berakhir dengan kekecewaan.
Mungkin pandangan semacam ini lahir dari apa yang dirasakan selama ini bahwa apa yang sering nampak dari panggung depan acapkali berbanding terbalik dengan apa yang terjadi sehari-hari. Apa yang menjadi tagline selama masa kampanye berbanding terbalik dengan kenyataan saat memerintah.
Dua kategori perilaku pemilih, pemilih yang mengedepankan harapan dan pemilih yang apatis sedang bertarung di ruang publik. Siapakah yang keluar sebagai pemenang? Kita nantikan pada tanggal 27 november 2024, apakah pemilih idealis yang menjadi pemenang atau pemilih pragmatis.
Pembelahan dua kategori pemilih di atas akan menghindari benturan antar pendukung calon kepala daerah, dengan mengarahkan dua kategori pemilih, maka kandidat akan bertarung dengan gagasan besar yang akan memandu pemerintahannya kelak ketika keluar sebagai pemenang.
Dengan mengkanalisasi kategori pemilih juga menihilkan lahir calon tunggal yang lazim disebut berhadapan dengan kotak kosong.
Calon tunggal juga menjadi penghalang lahirnya gagasan besar dari kandidat. Dialektika ide dari calon kepala daerah tidak muncul.
Visi misi calon kepala daerah “bertepuk sebelah tangan” monolog, tidak ada dialektika. Implikasinya masyarakat akan mendapatkan informasi dari 1 calon sehingga tidak bakal ada gagasan alternatif yang dipertandingkan pada pilkada tersebut. Upaya para tim sukses dan para kandidat untuk menjadi calon tunggal adalah upaya memerosotkan demokrasi.
Wallahu a’lam bishshab.
Penulis Oleh: Usman Lonta, Anggota DPDR Provinsi Sulawesi Selatan.