Oleh: Nazwar, S. Fil. I., M. Phil. (Penulis Lepas Yogyakarta)
ISLAM ibarat rezeki, kebenaran, kebaikan, dan kebijaksanaan identik serta menjadi suatu keniscayaan bagi yang menghendakinya.
Usaha, nasib, atau gabungan pengertian antara keduanya menjadi satu kesatuan dan tidak terbantahkan dalam mewujudkannya. Tidak ada problem sama sekali pada tataran penulis sebut istilah esensi.
Berislam dalam ranah esensi terjamin segala hal di dalamnya, bahkan menjalaninya di akhirat atau setelah kehidupan dunia.
Dinamika mulai terasa, bahkan berupa goncangan demi goncangan kentara pada ranah eksistensi. Meski demikian, eksistensi bagian dari kondisi yang diusahakan.
Sebelum lebih jauh, penulis menjelaskan kata berislam sebagai penggunaan yang tidak begitu populer. Berislam berarti hidup secara Islam.
Islam dimaknai kata aktif atau proaktif dengan diawali kata “ber”, maka Islam menjadi tidak sekedar istilah penulis di awal paragraf dengan esensi namun bermakna satu-kesatuan dengan eksistensi.
Esensi dan eksistensi dalam Islam dapat diungkap berupa hikmah dari penamaan al-Ikhlas, surat ketiga terakhir dari susunan surat-surat dalam Mushaf al-Qur’an.
Ikhlas sebagai suatu istilah mengandung makna dalam, namun tidak tersebut sepanjang isinya. Penegasan keesaan Allah dan berbagai sifatNya, namun tidak mencantumkan kata al-Ikhlash di dalamnya.
Tidak seperti penamaan surat lainnya, di mana nama surat tersebut bisa ditemukan di dalamnya, seperti Surat an-Naas, al-Falaq, dan seterusnya. Uniknya, meski tidak tersebut, namun isi surat tersebut mengandung makna ikhlas.
Demikian halnya dalam beragama, secara esensi dan eksistensi adalah Islam. Artinya Islam tidak hanya sebatas makna esensial sebagaimana dijelaskan di atas, namun juga eksistensial.
Kombinasi makna yang filosofis dalam berkehidupan dengan jalan Islam tersebut tidak semata ideologis paradigmatis, namun lebih kepada refleksi dan usaha menghadirkan Islam dalam teks suci ke dalam konteks. “Allahu a’lam.”