Bantah Pernyataan Jusuf Kalla, Prastowo Beberkan 10 Fakta Soal Utang Indonesia

INIKATA.co.id – Staf Khusus Menteri Keuangan (Kemenkeu) Yustinus Prastowo membeberkan sepuluh fakta soal utang Indonesia yang sering disebut-sebut oleh mantan wakil presiden Jusuf Kalla. Hal ini ia jelaskan lantaran apa yang disampaikan Jusuf Kalla sengaja mengabaikan fakta-fakta di sekitarnya.

“Sepuluh Fakta Keras tentang Utang Indonesia! Ini sekaligus tanggapan untuk Pak @Pak_JK dan mereka yang sering membahas nominal utang tapi sengaja mengabaikan fakta di sekitarnya. Saya kupas tuntas di Hari Lahir Pancasila!,” kata Yustinus dalam akun Twitter resminya @prastow, Kamis (1/6).

Fakta pertama, Yustinus menjelaskan bahwa Pemerinta Indonesia tidak mengeluarkan Rp 1.000 triliun per tahun untuk membayar utang. Sebagaimana dijelaskan Menkeu Sri Mulyani, paling penting saat ini adalah Pemerintah dapat membayar utang yang jatuh tempo. Selain itu, Menkeu menilai bahwa beban utang hingga saat ini juga dinilai masih terjaga.

Dalam pembayaran pokok dan bunga utang, Pemerintah sangat berhati-hati dan terukur agar kemampuan bayar dan kesinambungan fiskal tetap terjaga. “Berikut datanya. Transparan tiada yang perlu ditutupi, sudah diaudit BPK,” imbuhnya.

Melalui gambar yang diunggah Yustinus, terlihat bahwa paling tinggi utang yang pernah dibayarkan Pemerintah sebesar Rp 902,37 triliun yakni pada tahun 2021. Adapun tahun-tahun sebelumnya berada di bawahnya, berkisar dari Rp 566,78 triliun pada tahun 2017 dan sebesar Rp 837,91 triliun pada tahun 2019.

Fakta kedua, rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) per April 2023 turun menjadi 39,17 persen dari 39,57 persen pada Desember 2022. Kebijakan countercyclical penanganan C-19 dan pemulihan ekonomi membuat rasio utang meningkat, pada 2020 sebesar 39,4 persen terhadap PDB dan 2021 meningkat 40,7 persen terhadap PDB.

“Kemampuan recovery yang baik membuat ekonomi Indonesia mampu bangkit, sekaligus menurunkan debt ratio. Pada 2021, rasio utang Indonesia sebesar 40,7 persen jauh di bawah rerata emerging market. China bahkan menyentuh 71,5 persen,” jelasnya.

Fakta ketiga bahwa Pemerintah Indonesia patuh pada fiscal rule dengan konsekuesinya kenaikan PDB Indonesia lebih besar daripada utang. Hal itu terjadi di saat mayoritas negara ASEAN dan G20 mengalami kenaikan utang yang lebih tinggi daripada PDB.

Selanjutnya, fakta keempat, yaitu efek pengganda yang besar. Di mana dalam kurun waktu 2018-2022, saat dunia krisis karena pandemi, utang Pemerintah mampu menghasilkan multiplier effect bagi perekonomian sebesar 1,34.

Menurutnya, capaian ini lebih baik dibandingkan banyak negara, termasuk AS, Tiongkok, dan Malaysia. Lalu, fakta kelima bahwa sebagian besar utang Indonesia dalam mata uang Rupiah yang berasal dari SBN domestik sebesar 73 persen. “Tentu hal ini baik untuk menekan market risk dari melambungnya nilai utang karena pelemahan rupiah,” imbuhnya.

Fakta keenam, risiko utang Indonesia menurun tajam. Hal ini ditandai dengan debt service ratio/DSR dari 2020 sebesar 47,3 persen menjadi 34,4 persen pada tahun 2022 dan menurun lagi per April 2023 menjadi 28,4 persen. Untuk diketahui, DSR adalah rasio pembayaran pokok dan bunga utang dengan pendapatan.

Di sisi lain, interest ratio atau rasio pembayaran bunga utang terhadap pendapatan juga tercatat menurun dari 19,3 persen pada 2020 menjadi 14,7 persen pada 2022 dan 13,95 persen per April 2023. Menurutnya, penurunan DSR dan IR ini menunjukan bahwa kemampuan APBN dalam membayar biaya utang (pokok dan bunga) semakin menguat.

Adapun fakta ketujuh, Indonesia masih dipandang reliable dalam pengelolaan utang. Penilaian ini sebagaimana disampaikan lembaga-lembaga pemeringkat kredit seperti Standard & Poor’s, Moody’s, dan Fitch memberi rating BBB/Baa2 untuk Indonesia dengan outlook stabil, di saat banyak negara mengalami downgrade.

Fakta kedelapan, manfaat melebihi utang. Ini ditunjukan dalam kurun waktu sepanjang 2015-2022, penambahan utang sebesar Rp 5.125,1 triliun masih lebih rendah dibandingkan belanja prioritas berupa Perlinsos, Pendidikan, Kesehatan dan Infrastruktur sebesar Rp 8.921 triliun.

Fakta kesembilan, pertumbuhan aset RI yang nilainya melebihi penambahan utang. Hal ini menunjukkan pembangunan infrastruktur terus menjadi salah satu prioritas sebagai pendukung pertumbuhan ekonomi.

Selain itu, utang juga digunakan untuk ketersediaan sarana pendidikan dan kesehatan untuk mendukung pembangunan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Terakhir, fakta kesepuluh bahwa utang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bukanlah beban APBN.

“Mengacu pada UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, BUMN merupakan kekayaan negara yang dipisahkan, segala utang yang timbul atas corporate action merupakan tanggung jawab BUMN yang bersangkutan dan bukan merupakan utang negara,” tandasnya. (JawaPos/Inikata)