MAKASSAR, INIKATA.co.id – Lembaga Anti Corruption Committe (ACC Sulawesi) turut mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi menindaklanjuti hasil fakta persidangan dari Mantan Gubernur Sulsel dan Sekretaris Dinas PUTR Sulsel soal suap beberapa Kontraktor di Sulsel demi memuluskan proyek pekerjaan.
Desakan itu muncul, setelah tim penyidik dari Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan penggeledahan dirumah kediaman pribadi Ketua DPRD Sulsel, Andi Ina Kartika yang di sebut merupakan tidak lanjut dari kasus yang menyeret Mantan Gubernur Sulsel, Nurdin Abdullah dan Eks Sekretaris Dinas PUTR Sulsel, Edhy Rahmat sebagai terpida.
Direktur ACC Sulawesi, Abd Kadir Wokanubun menyebutkan Komisi pemberantasan korupsi harus menuntaskan seluruh hasil-hasil fakta persidangan tersebut termasuk dugaan suap yang dilalukan oleh beberapa Kontraktor di Sulsel.
“Harapannya untuk KPK, semua nama (Kontraktor) yang disebut di fakta persidangan harusnya di tindak lanjuti sebagai bentuk pertanggungjawaban ke publik agar mata rantai kasus ini terbongkar secara utuh,” sebutnya.
Kata dia, komisi pemberantasan korupsi harus bersikap profesional hingga kasus ini bisa terselesaikan dengan tuntas hingga terbongkar secara utuh.
“Poin pentingnya harus di usut tuntas semua nama yang disebut di fakta persidangan,” tuturnya.
Dimana Sebelumnya, didalam persidangan yang menghadirkan Mantan ajudan Gubernur Sulawesi Selatan (Sulsel) Nurdin Abdullah, Syamsul Bahri, yang dihadirkan pada Kamis (3/6) dalam sidang lanjutan kasus suap oleh terdakwa kontraktor Agung Sucipto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Makassar. Ia mengakui telah menerima uang titipan miliaran rupiah dari pengusaha yang dikemas dalam kardus.
“Saya hanya diperintah (Nurdin Abdullah) untuk mengambil titipan ke sejumlah nama-nama, kemudian saya bawa ke rumah jabatan,” ujar Syamsul Bahri di hadapan Majelis Hakim Tipikor Makassar yang diketuai Ibrahim Palino.
Syamsul mengatakan, dia bersama ajudan lainnya, yakni Salman Nasir, sering bergantian mengawal Gubernur Sulsel nonaktif Nurdin Abdullah, termasuk menjadi penghubung terhadap para pejabat maupun relasinya.
Syamsul Bahri mengungkapkan, pada Januari 2021, dia pernah diminta untuk menemui Robert untuk mengambil uang titipan yang dikemas dalam kardus, kemudian dibawa ke kamar pribadi Nurdin Abdullah di Rumah Jabatan Gubernur, Jalan Sungai Tangka, Makassar. Usai mengambil dan membawa uang itu hingga ke kamar pribadi Nurdin Abdullah, Syamsul yang sudah 10 tahun lebih mendampinginya itu, kemudian melaporkan jika titipan sudah diletakkan di atas tempat tidur.
Setelah beberapa hari kemudian, dia kembali disuruh untuk bertemu dengan Khaeruddin di rumahnya, di Perumahan The Mutiara Jalan AP Pettarani, untuk mengambil kardus berisikan uang yang selanjutnya dibawa kembali ke ruang kerja Nurdin Abdullah.
“Saya hanya diminta menemui orang-orang itu untuk mengambil titipan. Isinya uang, tapi berapa jumlah pastinya saya tidak tahu, kemungkinan masing-masing itu Rp 1 miliar,” katanya lagi.
Setelah melaporkan dan menyerahkan semua uang dalam kardus itu, Syamsul kemudian diminta menemui kontraktor lainnya Ferry Tandiadi untuk mengambil uang. Syamsul mengaku uang dari Ferry Tandiadi sekitar Rp 2,2 miliar sesuai dengan konfirmasi penyidik saat dirinya menjalani pemeriksaan di KPK.
Usai bertemu Ferry, dia pun menemui kontraktor keempat Haji Momo dan menerima amplop. “Kalau titipan dari Haji Momo itu amplop, dan itu saya ambil saat waktu sudah larut malam. Nanti keesokan harinya saya melapor ke Bapak dan menyerahkannya,” katanya lagi.
Sementara untuk ajudan lainnya, Salman Natsir, juga mengaku pernah dititipi oleh Agung Sucipto untuk memberikan koper kepada Nurdin Abdullah. “Saya diminta untuk menemui Pak Agung dan saya diberikan koper, saya tidak tahu isinya. Nanti saya tahu isinya uang, setelah Ibu Sari (Kabiro Pengadaan Barang dan Jasa Pemprov Sulsel) mengantar koper itu ke Bank Mandiri KCP Panakkukang,” katanya lagi.
Salman mengaku, uang yang dalam koper berwarna kuning itu harus ditukar dengan uang baru di Bank Mandiri KCP Panakkukang. Dan, saat itu stok uang baru hanya ada Rp 400 juta.
“Saya diminta bawa itu uang ke bank untuk ditukar dengan uang baru. Saya serahkan kopernya itu langsung kepada Pak Ardi (Kepala KCP Mandiri Panakkukang) di depan teller kemudian saya diajak ke ruangannya,” katanya pula.
Salman menyatakan, jika saat itu uang sejumlah Rp 400 juta kurang Rp 1,6 juta, kemudian melaporkan kekurangannya kepada Sari Pujiastuti, dan dirinya diminta untuk menggenapkannya dulu menggunakan uang pribadinya.
“Pakai uang saya Rp 1,6 juta kemudian saya bawa ke rujab. Setelah itu saya pergi melapor ke Pak NA di rumah pribadinya di Perumdos. Setelah melapor kemudian kembali ke KCP Mandiri Panakkukang mengambil lagi uang sebanyak Rp 400 juta dan serahkan ke Nurdin Abdullah di rujabnya. Setelah tuntas, saya ketemu Ibu Sari dan uang saya yang Rp 1,6 juta digantikan sebanyak Rp 10 juta,” ujarnya lagi.
Kasus yang menjerat Nurdin Abdullah bermula saat tim dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengelar operasi tangkap tangan (OTT) terhadap sejumlah orang di Jalan Sultan Hasanuddin terkait dugaan suap usai menerima laporan pada Jumat, 26 Februari silam. Direktur Utama PT Agung Perdana Bulukumba, Agung Sucipto, diketahui kala itu memberikan uang melalui Edy Rahmat, selalu sekretaris Dinas PUTR Sulsel.
Usai transaksi, tim menangkap Agung Sucipto saat perjalanan pulang menuju Kabupaten Bulukumba, sedangkan Edy Rahmat telah diamankan sebelumnya. Dalam proses pengembangan, tim bergerak ke Rumah Jabatan Gubernur Sulsel pada Sabtu (27/2) dini hari.
Tim selanjutnya menjemput Nurdin Abdullah karena disebut-sebut terlibat kasus dugaan suap proyek infrastruktur. Uang dua koper yang disita dari operasi tersebut senilai Rp2 miliar.
Hingga kini, KPK terus mendalami dugaan aliran uang dari beberapa pihak untuk kepentingan Nurdin Abdullah. (**)